Get snow effect
INI TULISAN SAYA SOBAT

Jumat, 11 Maret 2011

BIOGRAFI


            Nama saya adalah Rico Flasidus Pasaribu yang lahir pada tanggal 12 Maret 1989 di sebuah kota terpencil di Provinsi Sumatera Utara yaitu Balige. Saya dilahirkan oleh ibu saya yang bernama Rusma Lumban Gaol dan ayah saya bernama Nasib Pasaribu. Saya dilahirkan dari lima bersaudara dan saya adalah anak kelima dengan kata lain atau yang sering disebut dengan istilah “anak bungsu” atau diterjemahkan dalam bahasa batak “siampudan.
            Kini saya telah beranjak dewasa dan umur saya telah 22 tahun. Dalam tulisan saya ini, saya akan menceritakan seulas cerita tentang hidup saya hingga sampai umur 22 tahun saat ini.
            Nah, seperti biasanya pada saat saya berumur 5 tahun saya sekolah di TK (Taman Kanak-Kanak). Satu tahun telah terlewati di masa itu dan pada akhirnya saya dinyatakan lulus dari TK . Saya dulu sekolah anak-anak di TK. Asisi yang didirikan oleh Katolik.
            Setelah saya lulus dari TK dan umur saya enam tahun, saya masuk sekolah dasar tetapi tidak beda lagi, saya disekolahkan oleh orang tua saya ke SD (Sekolah Dasar) Katolik St.  Fransiskus. Tetapi disana saya tidak lama. Saya disana hanya menuntut ilmu selama tiga tahun, yang pada akhirnya saya dipindahkan oleh orang tua saya ke SD 176367 Soposurung, Balige. Dengan bahasa sehari-sehari dan lebih dikenal orang dengan istilah SD Inpres.
            Saya dipindahkan oleh orang tua saya bukan karena kenakalan saya ataupun karena saya bodoh tetapi saya dipindahkan oleh orang tua saya kerena adanya sebuah peraturan  bahwa setiap guru yang tinggal di perumahan pemerintah dan mengajar di sekolah pemerintah berarti anaknya juga harus disekolahkan di tempat pendidikan pemerintahan minimal satu orang dari salah satu anak guru.
            Mau tidak mau saya juga akhirnya dipindahkan oleh orang tua saya ke SD Inpres tersebut. Yah, boleh dikatakan sayalah korban dari kakak-kakak saya. “Kenapa saya berkata seperti itu ??”. Karena semua kakak-kakak saya disekolahkan oleh orang tua saya di sekolah Katolik hingga sampai menuju ke jejang perguruan tinggi.
            Enam tahun lamanya saya menimba ilmu di sekolah dasar. Mulai dari belajar membaca, belajar berhitung baik sejarah ditambah dengan mata pelajaran lainnya yang sesuai dengan kurikulum pemerintah hingga akhirnya juga saya dinyatakan lulus melewati sekolah dasar.
            Setiap orang yang ingin menimba ilmu selalu mencari dan ingin bersekolah di tempat pendidikan yang bagus. Seperti itulah dengan diriku. Hingga pada saat saya telah lulus dari sekolah dasar saya melanjut ke jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama) sebelum namanya diganti oleh pemerintah  yang disebut hingga sekarang dengan istilah SLTP (Sekolah Lanjut Tingkat Pertama).
            Saya dulu sekolah di SMP Negeri 4 Balige. Saya memilih sekolah disana karena sekolah  pada saat itu hingga sekarang dikenal sebagai sekolah favorit di Balige. Karena masuk ke sekolah itu harus melewati test dulu khususnya test akademik dan nilai NEM SD harus tinggi. Bukan berarti saya mengatakan sekolah katolik pada saat itu tidak bagus di daerah saya.
            SMP katolik di Balige adalah SMP Budhi Dharma. Justru SMP inilah saingan sekolah saya dulu. Karena SMP Budhi Dharma ini juga dikenal sebagai SMP yang bermutu tinggi, disiplin dan berintelektual. Bukan karena saya memeluk agama katolik makanya memberanikan diri untuk mengatakannya tetapi dari pribadi saya sendiri mengatakan bahwa tempat-tempat pendidikan yang dibangun atas naungan katolik selalu tempat-tempat yag bermutu dan selalu diperhitungkan dalam suatu saingan berat di antara tempat-tempat pendidikan lainnya. Saya mengatakan ini bukan karena saya mengenal sekolah katolik hanya satu, dua ataupun tiga sekolah tetapi saya mengatakan ini karena di daerah saya khususnya di Provinsi Sumatera Utara sekolah-sekolah katolik selalu sekolah yang bermutu.
            Jika ditanya sebagaian rakyat dari sumatera utara, selalu mengatakan bahwa sekolah katolik adalah sekolah yang bermutu dan berprestasi. Tetapi, “ada tetapinya loh...”, di dunia ini ada yang miskin dan ada yang kaya. Dimana-dimana pemerintah selalu memberikan suatu sumbangan ataupun membuat uang dana sekolah dengan relatif rendah demi mutu pendidikan bagi kaum-kaum miskin. Maaf, bukan saya ada berniat untuk menyinggung. Yah, kita tahu bahwa uang dana sekolah di swasta pastilah lebih mahal dibanding dengan sekolah negeri. Sehingga kebanyakan orang memilih untuk menimba ilmu di tempat-tempat pendidikan negeri hanya karena faktor ekonomi.
            Wah...udah panjang lebar nih. Kembali lagi ke cerita tentang saya.
            Saya memilih untuk melanjut ke SMP Negeri 4 hanya untuk mengurangi sedikit beban biaya orang tua saya karena pada saat saya duduk di bangku SMP, kakak saya sudah ada yang menimba ilmu juga di perguruan tinggi. Bukan cuma saya sich, kakak saya juga ada yang akhirnya sekolah di SMA Negeri 1 Balige.
            Pada saat itu, kakak saya telah menjadi seorang mahasiswa dua orang, yaitu kakak perempuan saya yang anak sulung dan kakak saya anak kedua.  Kakak saya anak ketiga dan sayalah yang sekolah di negeri dan kakak saya anak keempat sekolah di swasta dan tak jauh juga dari sekolah katolik. Yah, memang kakak saya yang satu ini anak yang selalu dimanja oleh orang tua saya di rumah.  
            Singkat cerita, hari berganti,bulanpun berganti, dan tahunpun terus silih berganti. Sayapun menyelesaikan sekolah SMP saya tepat waktu selama tiga tahun.
            Yah, selama saya menjalani hidup semasa saya duduk di bangku SMP sayapun telah mengenal beberapa orang setidaknya teman-teman satu sekolah saya dan yang paling penting sememnjak saya SMP saya telah banyak bergaul dengan orang-orang yang jauh di atas umur saya. Saya mengenal mereka bukan karena sering keluar malam ataupun kumpul-kumpul dengan mereka. Tetapi karena saya memiliki talenta bermain bola, saya sering dipanggil untuk bermain bola di saat-saat bertanding dengan tim lain.
            Dari sanalah saya mengenal orang yang pada akhirnya saya mengenal beberapa orang yang keluaran dari sekolah seminari atau lebih dikenal di agama katolik sekolah para calon imam (pastor). Sayapun sering berinteraksi dengan mereka hingga sayapun tertarik dengan cerita mereka tentang kehidupan di seminari.
            Tanpa berpikir panjang, ketika kedua orang tua saya bertanya kepada saya. “kemanakah kamu akan melanjut??”. Dengan semangat sayapun langsung melontarkan jawaban saya “ saya harus ke seminari”.
            Kedua orang tua sayapun terkejut mendengarnya, karena tanpa sepengetahuan mereka saya memang tidak pernah bercerita tentang ketertarikan saya untuk sekolah disana.
            Tanpa panjang lebar, kedua orang tua sayapun pergi ke paroki pastoral yang ada di kampung saya. Merekapun langsung mendaftarkan saya kesana. Pastor paroki pun terkejut. “Kenapa terkejut ya???, hehehee”. Karena selama sepuluh tahun terakhir sebelum saya mencalonkan diri untuk masuk kesana, tak seorangpun yang pernah memilih untuk sekolah disana dari kampung saya. Pastor paroki pun langsung beranjak ke seminari untuk mendaftarkan saya.
            Oh ya, hampir lupa saja. Seminari  itu ada di Kota Pematang Siantar. Ada juga sich di Padang dan di daerah lainnya seperti di Jawa ini. Kenapa harus memilih jauh???. Saya memilih seminari yang di kota Pematang Siantar saja, karena itu di Provinsi SumateraUtara juga yang hanya tiga jam dari kampung saya.
            Calon tunggal dari Balige. Beban inilah yang berat saya tanggung dan saya pun harus berusaha untuk memberikan hasil yang terbaik. Testing pun dimulai, semua para peserta ujian sudah bersiap-siap. Saya sich sedikit mindir saja, ketika setiap berkenalan dengan peserta lainnya hanya sayalah yang sendiri karena dari setiap calon peserta daerah lainnya minimal dua atau tiga orang.
            Testing pertama dimulai, test akademik dan logika. Dengan suasana hening dan disiplin, ujian itupun terlewati selama dua jam. Bel berbunyi dan semua kertas ujian dikumpul. Para peserta ujian pun dipersilahkan untuk istirahat sebelum tiba jam untuk makan siang. Selama mengikuti test ujian, kami berada selama tiga hari di seminari. Dan kami pun harus mengikuti peraturan yang ada di seminari. Yah, selama tiga hari itu, kami sudah bisa dikatakan sebagai anak seminari juga sich. Meskipun  hanya tiga hari saja.
            Hari kedua kami mengikuti test kesehatan.  Test ini hanya berlangsung beberpa menit saja karena hanya dibaawa ke rumah sakit dan diperiksa. Apabila para peserta memiliki penyakit dalam seperti asma, maka peserta itu dinyatakan gagal tanpa harus mengikuti test ketiga.
            Pada saat test kesehatan, tak seberapa orang yang gagal, hanya satu dua orang saja yang dipulangkan karena memiliki penyakit asma.
            Saatnya hari ketiga, hari yang sangat menegangkan. Dimana pada hari ketiga ini adalah test interview. Test inipun berlangsung lama. Setelah ujian ini selesai, para peserta pun bisa beranjak untuk pulang ke kampung halaman masing-masing. Dengan berkat doa dari seorang pastor kami pun pulang ke rumah-rumah masing-masing.
            Satu bulan lamanya saya menunggu hasilnya. Seorang bapak  dengan  menaiki sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan rumah saya. Kedua orang tua saya pun membukakan pintu kepadanya. Bapak itu masuk ke dalam rumah dan memancarkan wajah bahagia. Tanpa basa-basi bapak itu langsung berkata “Rico kamu diterima untuk menimba ilmu di seminari”. Sekitika itu juga suasana di rumah saya kedengaran suara bahagia dan kecerihaan.
            Di Gereja dan di sekolah SMP saya, saya selalu didoakan.
            Saatnya menjalani hidup baru dan suasana baru yang jauh dari kedua orang tua saya. Dengan badan kecil, saya menunggang tas saya yang berisi pakaian-pakaian saya yang akan saya pakai di semniari. “ Hati-hati nak”. Kata ayah saya dengan suara sedih yang diiringi dengan tetesan air mata ayah saya. “Anak kecilku, anak bungsuku, kamu harus bisa menjalani hidup sendiri tanpa ada kami disana, meskipun kamu anak bungsu kamu harus bisa mandiri ya nak”. Itulah kata-kata yang selalu saya ingat dari almarhum ayah saya hingga sekarang.
            Bukan sampai disini saja cerita sedihnya loh. Masih ada nih!!!.
            Saya pun berangkat ke seminari dengan ibu saya. Katanya sich, ibu saya harus ikut mengantarkan saya kesana.
            Tiga jam kami di perjalanan dan tiba di seminari. “ SEMINARI CRISTUS SACERDOS”. Kalimat inilah yang pertama saya lihat ketika tiba di seminari yang tertulis di dinding depan bangunan seminari.
            Satu, dua, tiga...saya dan ibu saya pun mengangkatkan kaki untuk masuk ke seminari. Masuk dan mencari tempat tidur dan lemari saya yang telah di beri nama pada tempat tidur dan lemari masing-masing. Ibu saya pun langsung merapikan lemari saya dan tempat tidur saya.
            Hanya dua, tiga jam saja aku bersama ibu saya disana. Tanpa terasa ibu saya pun harus pulang. Ini lagi nih cerita sedihnya. Ketika ibu saya ingin pulang, air mata ini juga harus keluar dengan tangisan yang tak terhentikan saat itu. Ibu saya langsung memeluk saya dan mencium kening saya. “ Nak ibu pulang ya, ibu akan selalu merindukan kamu, kamu pasti bisa...ibu harus melepaskan anak kecilku ini “.
            Saya selalu melihat ibuku yang berada di dalam angkot hingga angkot itu tak kelihatan.
            Saya telah resmi menjadi anak seminari. Meskipun rintihan tangisan saya yang selalu membasahi pipiku masih berlanjut hingga hari esok tiba. Saatnya hidup di seminari dan belajar di seminari untuk menjadi seorang imamat.
            Bangun pagi pukul 05.00, ibadah pagi pukul 05.45, makan pagi pukul 06.15 dan sekolah pukul 07.00, inilah jadwal hidup pagi kami di seminari.
            Pulang sekolah 13.00, makan siang 13.30, istirahat 14.00, kerja bakti 15.00, olah raga wajib 16.00, study sore 17.30, ibadah sore 18.00, makan malam 18.50, study malam 19.00, rekreasi atau nonton malam 21.00, doa malam 21.30, dan akhirnya tutup mata( tidur ) 22.00. Dan inilah jadwal kami siang dan malam.
            Ini dan inilah waktu yang setiap harinya kami ikuti di seminari.
            Dengan sedikit malu, saya hanya menuntut ilmu selama dua tahun saja di seminari. Saya keluar dari seminari hanya karena tarik diri dari orang tua. Saya ditarik orang tua saya karena pada saat itu saya mengalami lumpuh. Ini terjadi di sebuah kompetisi di Pematang Siantar. Saya adalah salah seorang pemain tim seminari yang ikut menjadi salah satu andalan seminari. Seminari selalu dikenal sebagai juara bertahan di bidang olah raga tetapi yang paling menonjol adalah sepak bola. Tiada hentinya piala itu silih berganti ke tangan kami. Bukan hanya olah raganya saja seminari itu dikenal sebagai sekolah favorit, karena seminari juga selalu dikenal sebagai sekolah yang tak hentinya memenangi olimpiade tingkat SMU. Mau dikatakan lewat seni, siapa sich anak seminari yang tak mengenal seni, paling minimal lebih bisa mengenal not dan menguasai nada-nada. “Seni tarik suara, seni  drama, seni tari, seni band, seni alat-alat tradisional dan seni tulisan ???”. Semua seni ini juga sangat menonjol dri seminari.
            Seni drama seminari selalu dikenal dengan humornya. Siapa sich yang tidak tertawa terbahak-bahak kalau saat menonton anak-anak aksi seminari tampil. Yah boleh dikatakan beda tipislah dengan OVJ sekarang. Seni suara, anak seminari juga selalu diandalin sebagai pemenang juara jika ada pertandingan tarik suara di Pematang Siantar dan begitu juga dengan seni yang lainnya. Soalnya kalau saya menceritakan semuanya tentang seminari cerita ini tidak akan ada habisnya karena selama kami hidup di seminari berjuta cerita yang terukir di dalam hati tentang seminari.
            Semoga saja si pembaca belum bosan ya.
            Memang cerita saya ini sedikit ngaur tetapi saya berusaha untuk membuat si pembaca tidak kabur untuk membaca cerita saya ini...
            Kembali ke laptop, seperti kata tukul ketika membawakan acara bukan empat mata.
            Saya bukan seorang pemain bola sehebat Cristiano Ronaldo atau pun Liony Messi tetapi saya bisa juga sich setenar mereka. Mereka tenar di seluruh penjuru dunia dan saya juga dulu tenar di dunia seminari.. yang penting ada kata dunianya..hehehehe.
            Ketika kompetisi berlangsung dan seminari telah lolos ke semifinal. Kami pun bermain di pertandingan semifinal. Di saat pertandingan dimulai saya pun dimainkan oleh pelatih kami sebagi starter line up di pertandingan babak pertama dengan posisi sebagai pemain tengah. Tiga puluh menit berlangsung dan kami telah unggul 2-0. Saat saya mengiring bola tiba-tiba pemain lawan kami berlari keras dengan menjatuhkan saya dari belakang. Suasana terdiam sejenak di saat aku terjatuh. Saya terjatuh dengan merintih kesakitan sambil memegang lutut kanan saya. Wasit berkata “tolong dia diangkat keluar”. Tim medis seminari masuk lapangan dan mengangkat saya keluar lapangan.
            Saya mencoba untuk berdiri tetapi tidak bisa. Sayapun langsung dilarikan oleh seorang pastor ke tempat pijat. Inilah awal semua saya tidak bisa melanjutkan ilmuku di seminari lagi. Ketika kedua orang tuaku mendengar saya telah lumpuh yang tidak bisa berjalan selama tiga hari, ibuku pun datang menghampiriku ke seminari dan membawa saya pulang dengan permohonan ditarik oleh orang tua dengan alasan untuk dirawat.
            Nasi telah menjadi bubur.. apa boleh dikata lagi, ini telah menjadi takdir saya dan saya mungkin hanya seorang yang terpanggil tetapi tidak terpilih untuk bekerja di ladang Tuhan untuk mewartakan kabar injil. Sebenarnya sich, saya masih ada hubungan perjanjian dengan seminari, jika saya telah menyelesaikan sekolah SMA di luar maka saya masih berhak penuh untuk pulang lagi ke seminari. Tetapi inilah yang terjadi, saya telah lalai dalam hidup dari luar seminari.
            Setelah saya sembuh dari lumpuh saya selama satu bulan, saya pun disekolahkan oleh kedua orang tuaku ke SMA Katolik yaitu SMA St. Yoseph, atau sering disebut di daerah saya SMA Bintang Timur Balige.
            Tetapi saya pindah sekolah dengan aturan  lain dari yang lain, dimana kita tahu kalau seseorang pindahan itu pasti tingkatannya sama misalnya kita pindah sekolah di saat duduk di kelas dua berarti kita kalau pindah juga pastilah kelas dua di sekolah baru kita. Kalau saya berbeda, bukan cuma saya saja sih, pindahan seminari mempunyai nasib seperti ini , yaitu saya pindah dari seminari menjadi turun kelas  di SMA Bintang Timur Balige (BTB).
            Pasti saudara bingung dan ingin tahu kenapa alasannya. Seperti gini nih, di seminari itu kami menjalani pendidikan selama empat tahun. Kenpa bisa empat tahun ??
            Di tahun pertama, awal kita masuk ke seminari masih tahap percobaaan atau tahap mengenal diri. Tingkat awal inilah yang dikatakan kelas Probatorium di seminari yang artinya kelas percobaan.
            Setelah kita lulus dari tahap percobaan ini atau Probatorium, maka kita melanjut ke kelas Gramatica yang artinya pembagian, pengelompokan. Nah, mulai dari tingkat inilah yang setara dengan tingkat kelas satu dengan sekolah luar. Di tingkat ketiga disebut sebagai kelas Sintaxis yang artinya kelas membulatkan diri untuk menjadi hidup seorang imamat. Inilah yag disamakan dengan kelas dua SMA dengan sekolah luar. Tingkat empat atau terakhir disebut dengan kelas Poesis. Inilah kelas tingkat tertua dan penguasa di seminari. Kelas ini artinya kelas untuk memilih ordo atau lanjutkah untuk menimba ilmu lagi di biara. Kelas ini disamakan dengan kelas tiga di sekolah luar.
            Karena saya hanya berada selama dua tahun di seminari dan naik kelas ke tingkat tiga maka saya hanya bisa disamakan setara dengan kelas dua di SMA lain. Meskipun sebenarnya saya telah dua tahun menjalani pendidikan. Inilah resiko yang harus diterima bagi para anak-anak ex seminarium atau yang keluar dari seminari. Ex seminarium inilah yang menjadi sebuah nama organisasi para anak-anak keluaran anak seminari seperti di Jakarta ini, ex seminariumlah nama organisasi kami disini.
            Derita kamulah ko, kata suara dari hati saya. Kamu harus mau menjadi turun kelas di sekolah luar. Yah, saya pindah sekolah menjadi kelas dua yang sebenarnya saya sudah melewati tingkat Gramatika di seminari. Saya pindah sekolah pada tahun ajaran baru. Sebenarnya saya sudah tingkat tiga di seminari jikalau saya tidak tarik diri dari seminari. Buat apa lagi dibahas ya? Memang saya harus menjadi kelas dua juga. Saya pindah ke SMA Bintang Timur Balige dan duduk di kelas 2 IPA3.
            Di BTB saya cukup dikenal juga dengan gelar sebagai “pastor”. Inilah yang menjadi nama sapaan saya di BTB dari siswa hingga sampai para guru dan kepala sekolah. Hingga terdengar juga sih nama itu ke luar sekolah kami.
            Kenapa bisa ya aku dipanggil menjadi seorang pastor ???
            Ini nih ceritanya, awal saya mendapat anugerah panggilan itu di saat saya diunjuk sebagai pemimpin ibadah atau pemberi kotbah di sekolah. Kita tahu pasti, kalau di sekolah katolik itu pasti selalu diadakan ibadah sekolah sekali seminggu. Kalau di sekolah saya dulu kebaktian ini diadakan setiap hari kamis pagi.
            Dengan sedikit gugup dan berdiri di depan banyak orang. Saya berdoa di dalam hati, “Tuhan berikan yang terbaik kepada diriku”. Dengan keberanian yang diiringi dengan semangat akhirnya saya berhasil memukau perhatian para siswa, guru bahkan kepala sekolah. Di saat itulah saya mendapat pujian dari seorang kepala sekolah kami. Kepala sekolah kami dulu adalah seoran suster, Suster Thresia namanya.
            Setelah saya berhasil memukau hati para siswa, guru dan suster. “ terima kasih Bapa”. Inilah lontaran kata-kata dari hati saya. Inilah awal semua orang di sekolah saya memanggil saya pastor. Kalu ditanya kepada mereka, katanya sih saya orangnya humoris, pintar berbicara dan berkotbah dengan sedikit wibawa, hehehhe.
            Berawal dari cerita itulah saya semakin sering aktif dibawa oleh pastor menjadi seorang bisdinar di gereja saya. Bukan karena itu saja sih, sebelumnya saya juga sudah sering menjadi anak altar( besdinar ) baik di seminari maupun di stasi – stasi gereja lain. Semasa saya di seminari, kalau pada saat libur semester saya harus selalu bersama dengan pastor dan menemani dirinya memimpin ibadah ke stasi-stasi dab sayalah yang menjadi seorang asistennya dan selalu menjadi salah seorang anak altar.
            Pengalaman saya yang terindah disaat menjadi seorang besdinar adalah di saat seorang Uskup kami dari Keuskupan Agung Medan datang untuk memimpin suatu ibadah pada saat acara terbesar di sekolah kami yaitu acara merayak pesta emas sekolah kami yang telah berumur selama 50 tahun di saat aku masih duduk kelas dua SMA.
            Uskup Pius Datubara namanya, selain menjadi seorang besdinar saya juga dipesilahkan untuk mengucapkan kata terima kasih kepada Uskup sebagai utusan dari kata sambutan dari yang mewakili siswa.
            Kesempatan ini juga tak kusia-siakan, di saat saya mulai mengenggam mikrofon itu suara teriakan terdengar memanggil namaku teriakan para siswa.  Sayapun berhasil dan tidak lupa juga saya mengucap syukur kepda Tuhan akan kesempatan itu semua. Inilah kenangan terindah yang kualami selama sekolah di BTB.
            Saya telah banyak dikenal oleh semua orang di sekolah saya, hingga pada saat pemilihan seorang ketua OSIS sekolah, saya diunjuk menjadi salah seorang calon ketua OSIS. Ini juga hari yang menegangkan, disaat pemilihan ketua OSIS hampir semua suara siswa memilih saya. Akhirnya saya terpilih menjadi seorang ketua OSIS di sekolah saya.
            Tugas berat menimpa saya. Saya juga berusaha semaksimal memberikan yang terbaik kepada sekolah kami. Saya berusaha untuk menjadi seorang pemimpin yang disenangi oleh siswa,guru dan kepala sekolah. Berbagai macam acara yang bisa kulakukan untuk menghibur siswa di saat hari penting, misalnya pada hari guru, hari valentine, hari kemerdekaan negara kita, hari paskah , penyambutan natal dll.
            Selain di dalam sekolah juga, saya juga berusaha untuk mengikuti kegiatan-kegiatan di luar sekolah dan berinteraksi dengan sekolah lain seperti mengikuti acara menghindari anti AIDS sedunia, hari Okumene di saat natal, anti Narkob, mengikuti perlombaan-perlombaan dll.
            Selain itu juga saya lebih suka untuk mengikuti acara di gereja. Jika ada acara di gereja saya selalu berusaha untuk mengusulkan sekolah kami untuk menjadi salah satu ambil bagian yang aktif dalam acara itu.
            Seperti pada saat acara memperingati St. Fransiskus saya membawa sekolah saya untuk menjadi paduan suara di acara itu. Di saat pembatisan seorang pastor baru, saya juga membawa sekolah saya untuk menjadi anggota penari tortor yang berasal dari Sumatera Utara. Tarian ini kami persembahkan di saat acara persembahan.
            Itulah yang bisa saya lakukan selama menjabat menjadi seorang ketua OSIS. Tak terasa juga kelas dua pun terlewati dan naik ke kelas tiga. Sayapun digantikan menjadi seorang ketua OSIS karena saya telah menjadi kelas tiga, ya tentulah saya harus diganti karena saya juga akan menghadapi ujian nasional.
            Semenjak saya duduk di bangku kelas tiga, perputaran waktu pun tidak terasa. Seakan-akan saya duduk di kelas tiga hanya sebulan saja, ini terjadi karena di saat kelas tiga sudah sering disibukkan denga ujian-ujian seperti ujian simulasi, ujian praktikum dll.
            Ujian Nasional terlewati dan lulus juga. Saya berencana melanjutkan sekolah saya untuk ke perguruan tinggi. Sebelum saya ke perguruan tinggi, saya ingin mengikuti bimbingan belajar dulu biar bisa jebol ke perguruan tinggi negeri. Itulah nekatku dalam hati.
            Tapi apa boleh dikata, saya tidak lolos ke perguruan tinggi negeri dan saya bernekat untuk pergi ke Jakarta ini untuk kuliah. Di saat saya berkata seperti itu, kedua orang tua sayapun mengizinkan saya. Ayah saya berkata “ saya ingin menyekolahkan anak saya ke Jakarta dan satu-satunya adala kamu”.
            Tak lama berselang kalimat itu terdengar di dalam telinga saya. Hanya beberapa jam saja kalimat itu tersimpan dalam benakku. Malam harinya tepat pukul 22.00 ayah saya menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Kejadian ini adalah kejadihan pahit bagu saya dan keluarga saya. Ayah saya tiba-tiba saja terdiam di tempat tidur rumah kami dan hingga kami berusaha melarikannya ke rumah sakit. Tapi takdirlah yang berkata dan kami telah berusaha. Tuhan memilih untuk memanggil ayah saya kepada-Nya.
            Ayah saya meninggal pada saat masih berumur 53 tahun.  Sebelum ayah saya meninggal, pernikahan kakak anak pertama saya akan melangsungkan acara pernikahan. Yah, hanya selang beberapa hari sajalah meninggalnya ayah saya dengan hari pernikahan kakak saya. Ayah saya dipanggil Tuhan pada tanggal 05 September 2008 silam  sedangkan kakak saya menikah pada tanggal 09 September 2008.
            Ayah kami, ayah saya terinta tidak lagi dihadiri oleh ayah. Ayah saya hanya bisa melihat hari kebahagiaan putrinya dari surga. Kesedihan ini selalu merasuki ibu saya. Rintihan tangisan tiada hentinya hingga pada saat acara pernikahan kakak saya. Air mata dan hanya air mata sajalah yang selalu membasahi pipi kami. Karena terlalu pahit cerita itu dijalani.
            Hari berganti, suasana kesedihan di dalam rumah kami pun mulai hilang dan berusah untuk membentuk keluarga baru tanpa kehadiran sang ayah di tengah-tengah keluarga kami sebagai pemimpin keluarga.
            Inilah yang kuterima di balik semua cerita pahit yang saya alami ini. Saya akhirnya tidak bisa melanjutkan kuliah saya yang pada akhirnya mengorbankan diri saya untuk menjaga ibu saya di rumah. Karena pada saat itu kakak saya anak kedua masih pada saat menghadapi sidang di kampusnya, kakan saya anak ketiga telah menjadi seorang aparat negara yaitu seorang polisi, kakak saya anak keempat sedang duduk di bangku perkulihan dan sedangkan kakak saya yang telah menikah harus memilih ikut dengan suaminya. Tinggal saya sendirilah yang harus menemani ibu saya.
            Selama saya menganggur di kampung, saya kebanyakan menghabiskan waktu saya untuk menjadi seorang supir ibu saya, mengatarkan dia ke kantor, menemani ibu saya belanja, menemani gereja dan latihan-latihan paduan suara gereja.
            Itulah kegiatan saya setiap harinya hingga pada akhirnya kakak saya anak kedua lulus dari kuliahnya.
            Disinilah saya akhirnya disuruh untuk memilih jalan hidup saya. Saya berkata kepada ibu saya dan kakak saya, saya hanya ingin melanjutkan cita-cita sang ayah untuk kuliah di Jakarta supaya agar cuma saya yang menjadi salah seorang dari anaknya yang bisa kuliah jauh dan menimba ilmu di pulau seberang.
            Akhirnya saya berangkat ke sini dan memilih untuk kuliah di Gunadarma. Saya di sini bukan tinggal bersama keluarga tetapi saya tinggal menjadi seorang anak kost yang harus lebih pintar berkomunikasi dengan orang lain khususnya bagi suku lainnya.
            Nah...selesai sudah tentang perjalanan hidup saya.
            Ibu ini ceritaku kepadamu dan doakan saya ibu agar bisa membawa ibu ke jakarta ini dengan hasil keringat saya.
            Kata terakhir dari saya sebagai penulis untuk mensudahi cerita ini...terima kasih kepada pembaca dan tolong dimaklumi jika ada kalima-kalimat yang salah.

WELCOME TO MY BLOG